Saat pena tak mampu menulis
Seolah tinta
hitam menjadi sianida tak berfaedah
Menggoreskan
kesaksian demi fulus
Menghizab
darah rakyat jelatah
Saat mulut-mulut singa kampus mulai bungkam
Beku, Seribu bahasa ia terdiam
Suaranya tak lagi mencekam
Disumbat dengan undangan makan malam
Zaman telah mengikis IdealismeMu
Semut-semut akan menjadi Raja dikandangmu
Saat engkau masih terbuai dengan sumbatanmu
Maka runtuhlan Tulang-tulang kepercayaan yang ada padaMu.
Bangkitlah, angkat penamu,
penah peradaban yang akan mengubah dunia kelam ini
penah peradaban yang akan mengubah dunia kelam ini
Bangkitlah, Torehkan tinta sejarah yang
akan mengabadikan namamu
dalam perjuangan melawan arus kebobrokan hari ini,
akan mengabadikan namamu
dalam perjuangan melawan arus kebobrokan hari ini,
Letakkan gedjet mu ambillah Al-Quranmu
Letakkan Tongsismu ambillah bukumu
Simpanlah Rokokmu Ambillah penamu.
Ukirlah hidupmu seperti para sahabat sehingga syurga menantikan mereka
Sekalipun diri tak mampu menyamai mereka, namun cukuplah usaha yang menjadi saksi.
Masih Teringat dengan jelas dengan puisi sewaktu kecil
yang sering dibaca di depan
kelas sebelum pulang sekolah,
“Biar peluruh menembus kulitku
aku tetap meradang, menerjang,
hingga hilang pedih perih”
Yah puisi ini adalah kutipan puisi chairil Anwar,
yang saat ini hanya menjadi legenda usang di dalam lemari.
Kata-katanya begitu menghujam
bagaiakan kobaran api
yang menghembus sampaike ruas-ruas tulang paling dalam.
begitulah semangatnya menghujam.
Tak ada pilihan lain kecuali bangkit,
Bangkit dari kebodohan,
Bangkit dari melawan arus teknologi yang melenakan.
Bangkit dari rasa malas berfikir.
Bangkit melawan Kebobrokan sistem.
Karena Ia akan menjadi Goresan,
Pena Kesaksian di hari akhir kelak.
Bangkit, bangkit....
BalasHapusjadilah pena peradaban....