Jumat, 19 Februari 2016

Mutiara Kebangkitan


Saat pena tak mampu menulis
Seolah tinta hitam menjadi sianida  tak berfaedah
Menggoreskan kesaksian demi fulus
Menghizab darah rakyat jelatah

Saat mulut-mulut singa kampus mulai bungkam
Beku, Seribu bahasa ia terdiam
Suaranya tak lagi mencekam
Disumbat dengan undangan makan malam

 Zaman telah mengikis IdealismeMu
Semut-semut akan menjadi Raja dikandangmu
Saat engkau masih terbuai dengan sumbatanmu
Maka runtuhlan Tulang-tulang kepercayaan yang ada padaMu.

Bangkitlah, angkat penamu,
penah peradaban yang akan mengubah dunia kelam ini
Bangkitlah, Torehkan tinta sejarah yang
akan mengabadikan namamu
dalam perjuangan melawan arus kebobrokan hari ini,

Letakkan gedjet mu ambillah Al-Quranmu
Letakkan Tongsismu ambillah bukumu
Simpanlah Rokokmu Ambillah penamu.

Ukirlah hidupmu seperti para sahabat sehingga syurga menantikan mereka
Sekalipun diri tak mampu menyamai mereka, namun cukuplah usaha  yang menjadi saksi.

Masih Teringat dengan jelas dengan puisi sewaktu kecil
 yang sering dibaca di depan kelas sebelum pulang sekolah,

“Biar peluruh menembus kulitku
aku tetap meradang, menerjang,
hingga hilang pedih perih”
Yah puisi ini adalah kutipan puisi chairil Anwar,
yang saat ini hanya menjadi legenda usang di dalam lemari.

Kata-katanya begitu menghujam
bagaiakan kobaran api
yang menghembus sampai
ke ruas-ruas tulang paling dalam.

begitulah semangatnya menghujam.

Tak ada pilihan lain kecuali bangkit,
Bangkit dari kebodohan,
Bangkit dari melawan arus teknologi yang melenakan.
Bangkit dari rasa malas berfikir.
Bangkit melawan Kebobrokan sistem.


Karena Ia akan menjadi Goresan, 
Pena Kesaksian di hari akhir kelak.

1 komentar:

Mendidik Anak Usia Dini

Terkadang saya mendengar perkataan orang tua yang mengatakan otak anak saya belum siap menempuh pendidikan dan belajar. Padahal ...