Senin, 22 Januari 2018

CINTA DAN HIJRAH

Sedikit kisah yang sangat mengesankan bagiku, tak ada jalan mudah menuju jalan syurga. setiap pilihan akan ada konsekuensi tersendiri,  jika kita memilih taat maka secara langsung kita harus meninggalkan semua yang Allah larang.

Bagaikan menggenggam sebuah bara api, sangat panas namun harus tetap di genggam. Itulah perumpamaan bagi orang-orang yang memilih jalan Islam hari ini.

Harus siap di guyur dengan cemoohan, di sangka teroris, di sangka kuno dan semacamnya, namun kita harus tetap menggenggamnya sampai rasa panasnya padam dengan sendiri. 

Masih lekat di ingatan sekitar 4 tahun silam di sebuah kost saat itu masih semester dua tepat di usiaku yang ke 17 tahun. Aku mondar-mandir memandangi pakaian yang melekat di bandan sesekali kupandangi lagi jam di tanganku.

"Kenapa sih Ka,  kok cemas begitu." Tanya Asti penasaran.

Asti sering memenggal namaku menjadi Ka, untungnya bukan kepalaku yang dia penggal, Asti adalah teman sekelasku dan kebetulan kami satu alumni dari SMA yang sama, dan itulah yang membuat kami semakin akrab tak jarang Asti menemaniku di kost karena memang Aku tinggal sendiri.

"Masih ingat tidak, materi kajian kemarin yang disampaikan kak Nisa?" Aku balik bertanya ke temanku itu.

"Hmm, yang bagian mana Ka?" Astipun kembali bertanya.

"Kamu inget tidak? Hayo..? pas kita nangis-nangis di saat kak Nisa menjelaskan sebuah hadist!” Aku memandangi asti.

"lalu? apa hubungannya sih kamu segelisah itu, mondar-mandir dari tadi."  Asti menahanku lalu menyuruh duduk dengan isyarat.

"Asti coba deh ingat-ingat kembali pembahasan kemarin, Aku jadi gelisah loh setiap mengingat penjelasan yang itu, emm pas kak Nisa bilang....hmm.... nah aku ingat  begini,  "posisi Ayah sebagai kepala keluarga sangat berat dik, Ayah rela banting-tulang, peras keringat, Ayah rela menghabiskan waktu mencari nafkah untuk keluarga, peluh, lelah, letih tak pernah terdengar dari bibirnya yang tulus,”  Aku mulai menjelaskan ke Asti yang dari tadi gelisah melihat tingkahku.

“Ia juga bertanggung jawab atas dosa yang diperbuat anak perempuan dan istrinya, di dunia ia sengsara dan banyak beban, seharusnya kita sebagai seorang anak membalas kedua orang tua kita dengan kebaikan pula.  jika anak adam meninggal dia hanya akan membawa tiga perkara  termasuk orang tua kita, yakni yang pertama ilmu yang bermanfaat, ke dua anak sholeh/sholehah dan ketiga  amalan yang tidak ada putusnya itulah yang akan kita bawa kelak,” lanjutku.

“Lantas apa yang telah kita siapkan untuk bekal ketika Allah  memanggil kita kelak, sejauh mana ilmu kita bisa bermanfaat untuk orang lain, apakah suda ada sesuatu yang kita perbuat sehingga ia menjadi pahala jariah yang tiada putusnya atau hari ini kita sudah menjadi anak yang shalehah?”

“Jika ilmu dan amalan jariah kita hari ini belum punya setidaknya kita menjadi anak yang sholehah untuk kedua orang tua kita dik!  Dan perlu kita ketahui bahwa Rosulullah pernah bersabda bahwa jika satu langkah saja seorang wanita muslimah keluar rumah tanpa memakai jilbab dan kerudung,  maka sama halnya selangkah juga ia memasukkan Bapaknya ke dalam api neraka (HR at-Tirmidzi) kebayang tidak,? berapa ribu langkah kaki kita keluar rumah tanpa menutup aurat dengan sempurnah."

Aku terdiam setelah sibuk menjelaskan penjelasan dari kajian yang ku ikuti dengan Asti temanku. Lalu aku melanjutkan seolah tak memberi ruang kepada Asti, tapi ia juga begitu antusias mendegarku.

"Betapa durhaka dan membebaninya kita Ti,... di dunia Bapak menanggung peluh, capek, di akhirat apakah tega kita melihat mereka menderita?" Aku menjelaskan dengan nada parau, mata Asti sedikit memerah.

"Lalu?" Tanya Asti.

" Aku malu Ti...,Aku sayang banget sama Bapak...,betapa durhakanya kita jika Bapak yang sudah rela membanting tulang dan mengorbankan segalannya demi kebahagiaan kita harus menanggung beban berat dunia akhirat karena pilihan hidup kita yang salah Ti." Kataku sambil memamndangi Asti yang mulai menunduk.

Kucoba membendung air mataku namun ia mencari celah hingga ia membasahi sedikit pipiku, dengan cepat aku menutupi muka dengan kerudung yang Kukenakan.

" Iya, iya, ya udah,..berarti kamu gelisah mau pakai jilbab dan kerudung yang..., yang apa sih namanya Ka?" Wanita yang usianya sebaya denganku itu berdiri.

"Yang syar'i Titi sayang,  syar’i itu artinya sesuai dengan syariat islam." Aku menyeka mataku dan tersenyum dibuat Asti dengan pertanyaannya yang menurutku lucu itu.

"Yaps, nah itu dia,dalilnya saya ingat tuh kalau itu di dalam Al Quran, an-Nur ayat 31 untuk kerudung dan al-Ahzab ayat 59 untuk jalabah alias jilbab atau sering disebut gamis bukan!"

"Tumben encer hehe." Ungkapku sambil nyengir dan betul saja sejurus kemudian tangan Asti menyubitku sambil ketawa malu-malu.

"Tapi Ti...,Aku belum punya baju terusan, apa Aku harus pakai rok dan baju panjang lagi, itu kan potongan namanya, di tambah lagi kak Nisa nambahin, jangan tunda kewajiban itu dik, karena alasan tak akan menunda maut." Aku merengek kepada asti yang dsri tadi berdiri di dekat meja belajar.

"Aku punya baju terusan, kebetulan ada satu-satunya hehe." Asti mencoba menenangkanku lalu ia melangkah ke arah tasnya.

"SubhanaAllah." Aku menengok ke arah Asti.

"Kok bisa Ti?" Tanyaku.

"Iya ini pemeberian nenek dan saya rasa akan membutuhkannya nanti kalau sering sama kamu,..kamu kan suka ngajak ke pengajian,! yah semacam persiapan gitu hehe" Asti tertawa lebar.

"Kamu yah." Aku tersenyum lagi di buatnya.

Sekalipun aku risi melihat gamis itu, tapi dalam hati niatkan karena Allah, Bismillah lagian modelnya lumayanlah untuk ukuranku, sama sekali tidak tergambar kalau itu baju untuk nenek-nenek.

"Tapi Ti.. kamu pakai apa say, kamu kan harus pakai terusan juga." Aku merasa Astipun harus memakai pakaian ya g sama.

"Ngak apa-apa say, lagian Aku belum siap juga makainya, bagaimana kalau teman-teman menertawaiku, lagian aku biasa pakai celana jeans, kalau kamu udah biasa pakai rok, baju kamu selalu panjang, dan kerudung apa lagi." Asti mulai mengeluarkan jurus pamungkasnya dengan suara memelas agar Aku tidak menceramahinya lagi. Tapi aku tetap melototinya.

"Iya nanti kalau aku sudah siap dan mantap, aku pasti pakai kok solehah, suer." Asti mengangkat tangan tanda janji lalu menggodaku agar berhenti melototinya. Iapun menyodorkan baju terusan ungu dari tas pakaian untuk perlengkapan beberapa hari nginap di kos.

"Aku tunggu yah, kita hampir satu jam-an loh bahas jilbab dan kerudung,, jangan sampai telat." Asti keluar untuk menunggu di depan kost.

"Baik bu...!" Kataku sambil mengangkat tangan memberi isyarat hormat.

Asti bergegas keluar, Ia menunggu di teras kos duduk di sebuah kursi kayu sambil memainkan hpnya,  sementara Aku mengganti baju.

"Tada...," Aku keluar diam-diam dan membuat kaget Asti.

"Gimana Ti? Aku kayak di film enggak yang pas ganti baju langsung berubah jadi cantik atau seperti barby yang pakai gaun cantik? Hmm atau Aku kayak ibu-ibu hamil lima bulan  dengan terusan begini? Tanyaku ke Asti yang sepertinya menyimpan seribu tanya di matanya pas melihatku keluar.

Ah....lupain Ti.. udah telat lagian cantik itu harus pakai ukuran pencipta, bukan yang di cinta, iya enggak Ti?" Asti terdiam, mau jawab tapi tidak ada kesempatan dariku.

"Weish kamu udah kayak ustadzah aja,  baru berapa menit aja pakaianya berubah, udah banyak perubahan yah." Asti memandangiku sambil mengejek dan menggodaku,  sepertinya ia tahu betul apa yang berkecamuk dalam hatiku,  ada rasa takut malu yang berusaha ku sembunyikan"

Setelah mengunci pintu kami berjalan menuju kampus yang letaknya cukup dekat dari kost, tiba di kampus kami bergegas ke lantai 2 gedung A FTKom.

Rasanya seperti mau putus nafas ini, nafasku terenggah-engah setelah sampai di lantai dua,  kusandarkan tubuhku di dinding luar kelas,  asti memandangiku ia kelihatan agak susah bernafas.

"Ti.. Alhamdulillah belum ada dosen.” Ungkapku setelah merasa lebih tenang.

"Iya..yuk istirahat di dalam kelas aja." Asti menarik tanganku seperti bayi baru lahiran, eh bayi baru berjalan.

"Iya iya." Saya menuruti saran Asti.

Beberapa teman-teman terlihat berbincang, dua laki-laki duduk di atas meja sementara ke empat teman yang lain duduk di kursi sambil asyik bercerita satu sama lain di pojok ruangan kelas. Beberapa teman-teman cewek sibuk menulis beberapa tugas hari ini yang belum sempat ia selesaikan di rumah. Ada yang berfose dengan beberapa teman.Yang lain sibuk mengurusi hp di tangannya.

"Assalamualaikum." Sapaku dari balik pintu.

"Waalaikumussalam." Sapa beberapa teman yang sedang bercengkerama dengan teman-teman yang dududi kursi bagian depan di dekat pintu.

Mereka tetap ramah seperti biasanya, sekalipun tampak beberapa raut muka yang agak berbeda dari biasannya.
Sambil tersenyum Aku mengambil posisi duduk di bagian kursi paling depan agar kegugupan dan raut mukaku tak nampak, Aku merasa berbeda hari ini, sedikit diam dan kepedean kalau kalau aku jadi bahan pembicaraan. "Mudah-mudahan semua baik responnya"

Ku lepas tas yang ada di pundakku lalu kuletakkan di atas bangku kursi, Aku membuka tas dan menarik sebuah buku dari dalam tas "
 "Ibu ustadzah," dari belakangku terdengar suara laki-laki memanggil entah siapa yang di panggil, aku acuh tak acuh "ibu ustadzah." ia mengulang kembali sambil mengayun kata ustadzah.

Aku mengenal suara itu, suara ketua tingkat, namanya Anto biasa Aku sapa kak Anto,ia lumayan dekat denganku,
ia sering ke kos bersama teman-teman kelas yang lain.

Apalagi saat-saat musim kemarau, eits musim tugas ia selalu datang seperti jalangkung datang tak di jemput pulang tak di antar, eh maksudnya sepersti jalang kote...gubrak, apaan itu, udah udah nga bakalan lucu.

"Amiin,  kenapa kak.?" Jawabku seadanya. Ia hanya tersenyum di ikuti teman-teman yang lain. Tak ada yang berani mengkritik di depanku, karena aku nga biasa bercanda seauatu yang tidak bermanfaat kepada mereka, aku terkesan serius di dalam kelas, tapi mereka senang datang belajar di kos.

Sejak saat itu beberapa tingkahku mulai berubah,  tak mau berjabat tangan,  tak mau di bonceng dengan temanku yang pria, tidak mau duduk di kursi tengah apa lagi di belakang, lebih memilih tinggal di kos daripada keluar tanpa tujuan yang jelas tidak semua telpon saya angkat.

Sering juga ada kakak senior dan teman kelas yang suka menelpon yang tidak lain hanya modus alias modal dusta dan sejurus saja aku keluarin kata-kata mutiara buat dia dan alhamdulillah sampai sekarang ia tetap ramah tapi sudah tidak ada yang berani menelpon kalau nga penting-penting amat,
huft...sedikit legah.

Setelah beberapa hari beberapa minggu berlalu semua ungkapan-ungkapan sinis mulai berkurang, teman-teman laki-laki yang awalnya setiap waktu ke kos mualai memahami bahwa kamar pribadi perempuan tidak boleh seorang laki-laki masuki.

Banyak teman-teman dari organisasi dan perhimpunan anak Tekhnik yang kadang merasa penasaran dengan pilihanku, kadang Aku ngin menjauh tapi kucoba sedikit menjelaskan alasanku memilih hjrah ke jalan ini.

Berbeda dengan pria yang satu ini saat itu kami masih menjalin hubungan yang biasa orang sebut dengan istilah  pacaran sehat jarak jauh, Aku kadang membuat alasan-alasan agar ia tidak menelpon, suatu malam pernah ia misscall sampai 40 kali tanpa jawaban,  karena kasihan akhirnya aku angkat telponya dan kucoba menjelaskan alasanku ke dia.

"Maaf Kak saat ini Aku hanya ingin fokus kuliah dan akhir-akhir ini Aku aktif ikut kajian islam."

"Alhamdulillah." Jawabnya senang.

"Tapi... di tempat kajian itu Aku mulai faham bahwa pacaran dalam pandangan islam itu dilarang." Jelasku dengan hati-hati.

"Tapi kan kita hanya telponan,  tak ada yang lebih."

"Iya akupun awalnya berfikir seperti itu, tapi tidak seperti itu, maaf  bukan menggurui ini namanya zina hati kak."  Aku mulai menjelaskan.

"Rosulullah pernah bersabda dari anas r.a bahwa ada tiga perkara siapa saja yang memilikinya maka ia telah merasakan manisnya iman. Yaitu orang yang mencintai Allah dan Rosulnya lebih dari yang lainnya,
 orang yang mencintai seseorang hanya karena Allah, dan orang yang
 tidak suka kembali kepada kekufuran sebagaimana
ia tidak suka di lemparkan ke Neraka," Ia mendengar penjelasanku dengan tenang

"Baiklah kalau begitu,  bagaiamana kalau aku mendatangi walimu, Aku serius yah sama Dinda."

Mendengar perkataanya Aku mulai deg, deg, dan deg degan, Ia memang orang yang memiliki ekonomi yang cukup baik. Aku tak bisa mengelak, namun kucoba kembali menkelaskan ke dia.

"Aku masih semester dua, InsyaAllah dalam Al Quran
Allah kabarkan bahwa lelaki yang baik itu untuk wanita yang
 baik begitu pula sebaliknya, InsyaAllah Aku sangat menghargai niat
baik dari kanda, sekarang keputudan saya sudah bulat saya mau
selesaikan studi saya, insyaAllah empat tahun lagi, jika kita berjodoh
 Allah akan mentakdirkan kita"

Setelah menjelaskan semuanya, akhirnya ia mulai sedikit mengalah sekalipun ia tak menerima, harus ada yang di korbankan, pilihan adalah penentu kehidupan seseorang kedepan.

Aku juga memiliki teman pria yang sangat baik hampir setiap malam ke kost membawa makanan tanpa kuminta, ia memperlakukan aku sangat istimewa, kami seperti saudara ia hampir selalu menawarkan bantuan, ia mempertanyakan kenapa Aku ingin berpenampilan seperti ini.

Aku jelaskan semua alasanku ke dia,  akhirnya dia mulai memahami dan sejak saat itu dia hanya menghubungiku saat ada tugas saja, perlahan saat hijrahku mulai berjalan beberapa bulan kami suda tidak satu kelas dan kami tidak pernah saling sapa lewat media apapun, ada rasa sedih kehilangan sahabat sebaik dia namun disisi lain Aku merasa legah karena perlahan semua-teman laki-laki yang pernah dekat saat pengkaderan dan ospek dulu mulai memahami bahwa inilah pilihanku.

Aku hanya pasrahkan segalanya kepada sang pemberi cinta, saat semua kebiasaan burukku mulai kutinggalkan demi cintanya, saat gaya hidupku dan gaya berpakaianku yang jahil kutinggalkan.

Aku yakin Allah akan membalas sekecil apapun kebaikan dan usaha hambanya untuk mendekat padanya.

Aku pasrah sepenuhnya pada Allah, inilah jalanku, inilah jalan hijrahku, inilah kisahku, kutinggalkan kesenangan masa mudaku untuk kesenangan yang abadi di sana.

Kutinggalkan cinta mereka yang hanya sementara, cinta yang tanpa kepastian demi cinta ilahi, inilah kisahku saat kutinggalkan cintaku pada dunia, kutinggalkan cinta seorang hamba demi mencari cinta dari pencipta cinta itu sendiri.

Jika tiba saatnya, sang pemberi cinta akan menghadirkan cinta yang lebih indah dari sekedar mencintai itu sendiri.

Dan Alhmdulillah badai tidak selamanya bertahan pasti ia akan berlalu, setelah hari demi hari berlalu teman-teman bukan menjauhiku mereka bahkan lebih mepercayaiku baik menanyakan tugas maupun menanyakan masalah agama.

Teman-temanku yang laki-lakipun semakin menghargaiku dan tidak pernah berkata kasar juga tidak jahil padaku.

Alhmdulillah ala kulli hal.

Inilah sedikit penggalan kisah hijrahku.

#OneDayOnePost5
#TantanganODOP1
#Markurius

29 komentar:

  1. Barakallah. Semoga istiqomah slalu ya..

    BalasHapus
  2. salam satu aspal ya hihihi semoga dengan hijrah mu semakin mendekatkatmu kepada sang maha pencipta Aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin Allahumma Aamiin...
      Jazakillah khair doanya mba....

      Alaikumussalam juga mba....

      Hapus
  3. Semoga saya juga ikut istikomah ya mbak. Salam kenal 😀😀😀

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin,..
      Smoga kita semua di istiqomahkan dalam kebaikan yah Mba. Salam kenal juga mba

      Hapus
  4. MasyaAllah...., semoga istiqomah. Aamiin.

    BalasHapus
  5. Saya kira ini fiksi, ternyata kisah nyata tho..barokallah ya dek, semoga istiqomah :)

    BalasHapus
  6. Masyallah, perjuangan hijrah yang menginspirasi. Semoga Istiqomah kak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhmdulillah Allah beri ujian sebagai pelajaran....

      Aamiin, trima kasih doanya ukhti

      Hapus
  7. Berbakti kepada orang tua harus kita lakukan, dan sudah sewajarnya kita setia pada pilihan hidup kita, apapun riaikonya

    BalasHapus
  8. Semoga istiqomah ya kak... begitu pun untukku.
    Alhamdulillah, diberi teman2 yang baik, selalu menguatkan satu sama lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhmdulillah.

      Aamiin... doa terbaik untukmu juga ukhti, smoga kita diberi ke istiqomahan dalam jalan hijrah kita. Dijadikan khusnul khotimah inshaAllah,Aamiin...

      Hapus
  9. Ceritanya bagus. Tapi cara penulisan dan penggunaan tanda baca masih ada yang tidak tepat. But keep writing ^_^

    BalasHapus
  10. BarakAllah. Semoga selalu istiqomah ya mbak

    BalasHapus
  11. Berat memang jalan yang harus dilalui ketika kita memutuskan untuk hijrah menuju jalan-Nya. Kisah yang inspiratif mbak.... salam

    BalasHapus
  12. Bagus tulisannya kak🖒🖒

    BalasHapus

Mendidik Anak Usia Dini

Terkadang saya mendengar perkataan orang tua yang mengatakan otak anak saya belum siap menempuh pendidikan dan belajar. Padahal ...