Sabtu, 09 April 2016

34 HARI


                                                                           34 HARI
                     


Setiap malam tak terlalui kecuali terselip doa yang diterbangkan angin menuju ke desa yang berpenduduk seratus persen muslim itu. Desa yang meninggalkan beribu cerita yang hanya terangkai selama 35 hari.

Delapan bulan sudah setelah kegiatan pengabdian itu berlalu, saat mata saya mulai jenuh menatap lembar kerja Corel Drew, mengedit-edit gambar untuk bahan skripsi. Saya kembali mengingat lembaran-lembaran dokumentasi yang tersimpan rapi di dalam leptop  dengan nama folder KKN DESA BONE-BONE.

Saya menggeser mouse perlahan ke pojok kanan lembar kerja , mengklik tombol pilihan minimize. Lalu menekan tombol window bersamaan dengan huruf E, artinya masuk ke folder komputer. Saya menklik brief case E dan membuka folder tersebut. 

Ratusan foto kegiatan tersusun rapi di dalam folder, dengan bermacam-macam nama folder mulai dari folder Hari pertama, Hari ke dua, Pembuatan kaligrafi, Papan tasbih, Pendokesan, Festival anak shaleh,sampai nama folder Perpisahan.

Sengaja saya membuatnya seperti itu, jika tidak maka saya akan kewalahan sendiri mencari data-data yang  penting bagi saya kedepannya, kalau tidak, bisa berakibat fatal seperti menganggap file tidak penting  sehingga di delete jika tidak disimpan dengan rapi.  Leptop itu bagaikan lemari pakaian, agar mudah mencarinya harus di tata dengan rapi.

Di sebuah bukit ( cie sok dramatis sambil tutup panci, eh tutup muka maksudnya...) Setelah dua hari mengadakan observasi di Dusun Bungin-Bungin dan Dusun Buntu Billa,masih ada satu Dusun lagi yang hari ini akan kami datangi, yaitu Dusun Pendokesan. Dusun Pendokesan terletak di atas gunung dan memerlukan tenaga yang ekstra untuk sampai ke sana, buktinya beberapa teman tidak berani menaikinya.

Setelah mengadakan rapat bersama teman posko, jadilah yang di putuskan untuk naik adalah Koordinator, Saya sebagai sekertaris dan tiga teman perempuan yang cukup akrab dengan saya, mereka sendiri yang menginginkan untuk berangkat, syukurlah, saya memang tipe orang yang senang dengan orang yang punya semangat tinggi.  Jadilah saya dan empat orang teman yang berangkat.

Pendokesan terletak di atas gunung, kalau berjalan kaki bisa di tempuh oleh masyarakat di sana dengan waktu tempuh satu jam. Ada beberapa jalan yang membutuhkan tenaga ekstra untuk menaikinya namun sedikit bisa terobati dengan candaan dan saling memberi semangat, dan hal yang tak terlupakan adalah tingkah teman-teman saat berjalan, ada yang menunduk di jalan mencari puntung rokok, ia tak yakin kalau desa yang terkenal bebas asap rokok ini tidak ada yang melanggar (duh ada-ada aja). 

Ada juga salah satu teman di antara kami ber empat yang mendaki gunung dengan high Hiel, Ia salah satu teman yang selalu mengajak istirahat (maklum lah, pakai sendal yang tumitnya tinggi, siapa yang tahan, huh ngerii tuh). 

Ada juga teman yang selalu melirik kesana kemari, menikmati pemandangan yang di kelilingi gunung, melihat ke dasar gunung ada sungai yang mengalirkan air yang cukup deras dan memperhatikan sekeliling gunung sambil berkomentar  “ waah banyak bunga yah, kalau pulang, nanti kita singgah ambil yah!” katanya berbinar-binar.  Ia teman yang suda berkeluarga, sangat maklum ia sangat menyukai bunga.

 Yang tak kalah lucu, salah satu teman yang membuat suasana selalu cair begitu bersemangat berlari-lari kedepan agar tak ketinggalan dan ketika sampai di bukit lalu berteriak “Ekaa Foto dulu! Serunya kegirangan melihat pemandangan ( padahal baru kenal dua hari, Alhamdulillah suda ada ke akraban). Nah yang terakhir Pak Kordes alias Koordinator desa, dia sangat tenang orangnya, melihat tingkah teman-teman, kadang Ia senyum dan sedikit  berkomentar , sekali-kali terdengar teguran dan keluhannya ke teman-teman, “awas nanti jatuh ke dasar sungai.”katanya.  “duh panas dan banyak debu” keluh pak Kordes, kami sering menyapanya dengan sebutan pak kordes. ( Pak Kordes ini orangya bersih banget, sampai teman-teman kadang cerewet,melihat tingkahnya). 

Setelah melewati perjalanan dengan berbagai tingkah, akhirnya kami melewati pendakian yang terakhir, kami berinisiatif untuk beristirahat di bawah pohon yang agak rindang dan melepas penat di sana, panas yang menyengat yang kami lewati terasa bak membakar tubuh, namun seketika hilang, di terpa angin sepoi-sepoi di bawah pohon rindang yang memberi kesejukan itu, dan kami juga disuguhkan dengan pemandangan indah dari atas gunung.

Saya menaiki gundukan tanah di atas jalan dan berdiri di sana, memanggil teman-teman.
“ayo ke sini, disini lebih indah pemandangannya” seruku ke teman-teman.
“Wah kota Palopo, ada di sebelah kanan sana” sambil menunjuk salah satu teman mulai bergurau. 

Mereka saling berbincang, perlahan suara mereka tak saya perhatikan dengan jelas. Saya hanya fokus dengan pemandangan di depan. Kembali saya  merenung, satu hari telah berlalu, dan masih tersisah hari yang panjang 34 hari lagi, bagaiamana saya kedepannya? Itu yang membuat saya merenung lama di atas bukit itu.

Saya akan melewati 34 hari lagi di tempat asing yang belum pernah saya injak dan lihat bahkan mendengar namanya saja saya tidak pernah, bahkan sekedar membayangkan akan ke tempat ini, tidak pernah. Sejenak setelah berdiri memandangi langit yang terbentang dan bumi yang terhampar, gunung-gunung berdiri kokoh, kembali saya melihat diri ini yang begitu kecil berdiri di bawa pohon itu. Tak ada yang dapat menolak takdir Allah, mungkin ini jalan terbaik dari Allah, menempatkan pada tempat yang tepat. Tak ada yang salah tempat, yang ada manusialah yang kadang tak mampu memberi warna dan menikmati serta mensyukuri nikmat itu. 

34 hari akan saya lalui, meninggalkan sementara kebiasaan saya berkumpul dengan teman-teman mengadakan kajian di kampus dan di luar kampus, agenda rutin di kampus akan beralih menjadi agenda rutin berkumpul dengan saudara yang baru, 34 hari saya akan lalui tanpa pembina setiap minggu yang memberi wejangan dan suntikan semangat, 34 hari itu misteri yang harus saya pecahkan sendiri. 34 hari menjadi kisah yang menyimpan banyak misteri (hehe agak lebay).

Dengan sedikit ilmu yang saya  miliki, saya harus mulai belajar tanpa musyrifah, saya menasihati diri sendiri, dalam sebuah buku agenda saya menulis “ jadilah pewarna yang memberi warna kebaikan pada orang  lain. Jangan jadi pewarna yang memudar dengan pewarna keburukan dari lingkungan kebebasan”

Saya memohon kepada Allah, saya tau bagaimana lemahnya iman ini, saya hanya meminta kepada sang pemberi kekuatan “Kukuhkan aku seperti pohon di atas bukit, bahkan lebih kokoh lagi dari itu, sekalipun mereka diterpa angin dan hujan  serta disengat matahari, ia tetap saja berdiri kukuh, bahkan mereka tak hanya berdiri kukuh, akar-akarnya menyimpan banyak kebaikan, menguatkan dirinya, menahan tanah, menyimpan air di dalamnya dan bahkan mampu meberi kesejukan siapa saja yang singgah bernaung di tengah teriknya matahari.

34 hari adalah misteri yang akan saya lalui, saya harus menulis kisah saya sendiri. Di ujung desa ini,  sambil menatap gunung yang terhampar jauh di ujung sana, membayangkan, saya bak mengangkat bendera perang pada ketakutan diri saya pribadi, mengubahnya menjadi peluang, sebagaimana pohon, saya harus menancapkan secara dalam dan kuat prinsip saya sebagai wanita muslimah, lemah lembut terhadap hal tertentu dan keras terhadap hal-hal tertentu (hukum syar’a) sebagaimana para istri Rasulullah saw, jika pemahaman dan prinsip serta idealisme telah menancap kuat, sekeras apapun godaan menghembus dan segetir apapun ujian menyengat, tak akan membuat seorang muslimah goyah, ia akan tetap berdiri kukuh dengan pemahamannya. Ia berusaha memperkuat dirinya dengan ilmu islam dan berusaha menyimpan kebaikan dan berbagi kesejukan kepada siapapun yang membutuhkannya. 

Selang beberapa menit beristirahat, kami melanjutkan langkah yang beberapa saat lagi akan sampai ke dusun yang kami tuju...
                                                        


Bagi seorang muslimah, malu adalah perisainya, 
takwa adalah pakaiannya
 dan doa adalah senjatanya serta dakwah adalah poros kehidupannya, 
itulah prinsip yang berusaha saya bangun terhadap diri saya
 dan kepada teman-teman muslimah di kampus 
Alangkah indahnya jika semua muslimah memegang kuat prinsip ini. 
Semoga diri ini tetap Istiqomah dengan kebaikan..


Waallahu ‘A lam

Allah dan rasulya terhindar dari keburukan lisan ini


4 komentar:

Mendidik Anak Usia Dini

Terkadang saya mendengar perkataan orang tua yang mengatakan otak anak saya belum siap menempuh pendidikan dan belajar. Padahal ...